Sejarah kebudayaan Suku Lampung (Lampong)
pakaian adat suku lampung (lampong) |
Jejak Nusantara - Orang Lampung yang dimaksud disini adalah penduduk asli yang sudah mendiami daerah provinsi lampung jauh sebelum kaum transmigran dan bebagai pendatang dari suku bangsa lain ikut bermukim di provinsi ini. Jumlah mereka sekarang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kaum transmigran dan pendatang lain. Walaupun begitu pemukiman mereka cukup tersebar di semua wilayah.
Pada tahun 1974 jumlah penduduk provinsi lampung sekitar 3,1 juta jiwa, dan diperkirakan penduduk yang tergolong suku bangsa lampung hanya berjumlah sekitar 800 ribu jiwa. Sebagian siantara mereka juga berdiam diwilayah provinsi Bengkulu dan sumatera selatan bagian selatan. Sebaliknya ada pula beberapa suku bangsa yang berasal dari Bengkulu dan sumatera selatan yang berdiam diwilayah provinsi lampung, seperti orang semendo, ogan, dan pasma.mengingat jumlah transmigran yang berasal dari pulau jawa jauh lebih banyak maka pengaruh budaya jawa pada masa sekarang cukup besar dalam pergaulan antar suku bangsa di lampung.
Menurut suatu tradisi lisannya suku bangsa lampung dianggap berasal dari skala brak, yaitu suatu tempat wilayah kecaman belalau, kabupaten lampung utara. Nama “lampung” sendiri dikatakan berasal dari sebuah cerita rakyat yang berjudul “si lampung ratu bulan”. Dalam kronik-kronik cina pada abad ke 7, daerah Lampung lebih dikenal dengan nama to-lang-p’o-whang, yaitu sebuah kerajaan yang cukup disegani dari sumatera bagian selatan.
Peninggalan-peninggalan prasejarah banyak membuktikan bahwa di lampung pernah berkembang budaya yang dibawa oleh agama hindu dan budha. Bahkan diduga sebelumnya sudah ada juga budaya megalitik yang lebih tua dan asli Indonesia di daerah tersebut. Karena selain di temukan berbagai prasasti dari masa sriwijaya, arca-arca budha, berbagai keramik china dari dinasty Han (200-220 M), Tang (607-908 M),dan dinasty Ming (1368-1643 M), juga ditemukan tradisi megalitik yang berbeda dengan budaya materi hindu/budha. Dari situs-situs megalitik banyak yang ditemukan menhir, dolmen, punden berundak, dan batu tempat pemujaan.
Ajaran agama islam masuk ke daerah ini sekitar abad 15, ketika daerah ini dikuasai oleh kerajaan sunda kelapa. Kemudian berlanjut ketika masa kekuasaan kesultanan Banten. Penyebarannanya terutama berpusat di daerah pugung, yang kemudian berkembang menjadi daerah keratuan pugung.
Orang Lampung sendiri dalam kehidupan sosial budayanya setelah mengembangkan aturan-aturan adat yang akan menentukan peranan kelompok-kelompok adat mereka. Kelompok adat yang paling besar pengaruhnya dalam kehidupan social tradisional mereka adalah adat pepadun dan adat peminggir atau pubian. Yang lain juga perlu diperhitungkan dalam sudi kemasyarakatan orang Lampung adalah adat semende (semendo), adat Ranau, adat belalau, adat pegagan, dan adat ogan. Kelompok adat pepadun umumnya mendiami wilayah lampung bagian timur dan tengah, di cirikan oleh sistem adat kebangsawanan mereka yang cukup kompleks yang disebut kepunyimbangan. Kelompok adat peminggir umumnya mendiami wilayah bagian barat sampai ke pesisirnya, di cirikan oleh sistem adat yang sistem pelapisan sosialnya dua tingkat yang disebut sebatin atau seibatin.
wanita suku lampung (foto tua) |
Subsuku bangsa Lampung Pepadun terbagi lagi menjadi 4 kelompok, yaitu Abung Siwo, Megou (Abung Sembilan Marga), Megau Pak Tulangbawang, Buay Lima, dan Pubiyan Teluh Suku (Pubiyan Tiga Suku). Setiap kelompok masih terbagi lagi atas sejumlah klen besar yang berdiam diwilayah tertentu, yang disebut buay atau kebuwayan. Abung Siwa Megou terbagi atas Buay Unyai di Kecamatan Kotabumi, Buay Unyi di Kecamatan Gunung Sugi, Buay Nuban di Kecamatan Sukadana, Buay Subing, dan Buay Beliuk (keduanya di kecamatan Terbanggi Besar), Buay Kunang, dan Buay Selagi (keduanya di Kecamatan Gunung Barat), dan Buay Nyerupa di kecamatan Gunung Sugih.
Kelompok Megou pak Tulang bawang terbagi atas empat buay, yaitu Buay Bolan (di Kecamatan Menggala), Buay Umpu, Buay Tegamonan, dan Buay Ali, ketiganya di Kecamatan Tulang bawang Tengah. Kelompok Buay lima terdiri dari 5 Buay, yaitu Buay Pemuka di kecamatan Pakuaon Ratu, Buay Bahuga di kecamatan Bumi Agung, Buay Semenguk di Kecamatan Belambang Umpu, Buay Baradatu di Kecamatan Baradatu, Buay Barasakti di kecamatan Barasakti. Kelompok Pubiyan Telu Suku terdiri atas 3 Buay, yaitu Buay manyarakat di kecamatan Gedong Tataan, Pagelaran, Kedaton Tanjung Karang, Buay tamba Pupus di Kecamatan Pagelaran dan Gedong Tataan, Buay Buku Jadi di kecamatan Natar.
Orang Lampung Peminggir terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu Peminggir Melinting Rajabasa di daerah Labuhan Meringgai dan disekitar Rajabasa Kalianda; Peminggir Teluk di daerah Telukbetung; Peminggir Skala Brak di daerah Liwa, Kenali, Pesisir Tengah, Pesisir Utara, dan pesisir Selatan; Peminggirr Semangka di daerah Cukuh Balak, Talang Padang, Kota Agung, dan Wonosobo; Komering di daerah Ranau, Komering, dan Kayu Agung (Sumatera Selatan).
Menurut ahli etnolinguistik Belanda, van der tuuk, Bahasa Lampung terbagi kedalam dialek Abung yang dipakai oleh kelompok masyarakat beradat pepadundan dialek Pubiyan yang dipakai oleeh kelompok masyarakat beradat Peminggir. Van Royen malah membagi Bahasa Lampung menjadi dialek nya dan dialek api. Pada masa sekarang Bahasa lampung memang dapat dibagi-bagi menurut ciri dialeknya, antara lain: Dialek Sungkay dan Way Kanan, dialek Krui, dialek Belalau, dialek Pubian, dialek Komering, dialek Kayu Agung, dialek Abung, dialek Tulang Bawang dan dialek Pesisir (Peminggir).
Menurut para ahli Bahasa bangsa Indonesia Bahasa sendiri, Bahasa Lampung yang disebut behasou lampung atau umung lampung atau cewo lampung, masih dapat dibagi menjadi 2 dialek, yaitu dialek Lampung Belalau dan dialek lampung Abung; yaitu masing-masing dibedakan atas dasar pengucapan a dan o. Dialek Lampung Belalau (dialek a) masih terbagi kedalam beberapa subdialek, yaitu jelma doya (sungkai), Pemanggilan Peminggir, Melinting peminggir, dan Pubian. Dialek Lampung Abung (dialek o) terbagi atas 2 subdialek yaitu abung dan tulungbawang. Orang Lampung juga memiliki aksara sendiri, yang biasa disebut surat Lampung atau huruf lampung. Abjadnya berasal dari abjad Sansakerta dari huruf Dewa Nagari.
Bahasa Lampung tidak mempunyai tingkatan pemakaian Bahasa seperti Bahasa jawa, melainkan seperti Bahasa Belanda, yaitu cukup mengganti kata ganti orang waktu teman bicara berganti, seperrti kata ganti untuk orag tua, kata ganti untuk sesama usia dan kata ganti untuk usia yang lebih muda. Termasuk penggunaan penekanan suara atau nada dalam menentukan sikap pembicaraan. Bahasa Lampung masih bagian rumpun dari Bahasa Melayu. Hanya Karena dialeknya yang lain, menyebabkan lebih sukar dipahami oleh orang yang biasa berbahasa Indonesia. Bahasa Lampung juga memiliki Aksara kuno atau tulisan kuno dari orang Rejang, Serawai, dan lain-lain yang mungkin berkembang dari aksara Devanagari dari India.
Mata pencaharian suku bangsa Lampung pada awalnya adalah perladangan tebang bakar dan berpindah-pindah serta meramu hasil hutan. Berkat pengaruh masyarakat lain yang dating kemudian mereka mulai pula mengembangkan sistem pertanian irigasi disawah-sawah, beternak kerbau “Liar”, sapi, kambing, dan lain-lain. Pada abad ke-18 mereka mulai pula bertanam tanaman keras seperti kopi, cengkeh, serta rempah-rempah seperti lada dan pala. Pekerjaan berburu binatang liar serta mengumpulkan hasil hutan masih dilakukan oleh sebagian penduduknya. Untuk mengusahakan kebun-kebun lada,, kopi, cengkeh, danlainnya, mereka mengupah buruhh-buruh transmigran. Sebagian dari mereka sudah ada pula yang memilih pekerjaan sebagai pegawai pemerintah atau swasta di kota-kota.
Perkampungan orang Lampung biasanya didirikan di dekat sungai dan berjajar di sepanjang jalan utama yang membelah kampung. Orang Lampung menyebut kampung mereka sebagai tiyuh, anek, atau pekon. Sebelum tahun lima puluhan kampung-kampung itu tergabung ke dalamsebuah marga. Pada zaman dulu beberapa buah marga bergabung menjadi satu onderdistrik yang sekarang disebut kecamatan. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat kediaman buay atau buway (klen patrilineal). Setiap bilik mempunyai sebuah rumah klen yang besar yang disebut nuwou balak atau nuwou menyanak (rumah kerabat) atau lamban gedung. Rumah ini menjadi pusat orientasi setiap ikatan kekerabatan baik hubungan langsung maupun Karena mewari (pengangkatan saudara), Karena selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga (primogenitur).
tarian adat suku lampung (lampong) |
Rumah-rumah keluarga Batih biasanya didirikan di sekitar nuwou balak. Dalam kelompok beradat Pepadun setiap bilik atau kelompok menyanak dipimpin oleh seorang penyimbang suku,setiap tiyuh (kampung) dipimpin oleh seorang punyimbang bumi. Setiap marga dipimpin oleh seorang punyimbang marga. Setiap kepemimpinan itu membentuk juga dewan-dewannya sendiri. Setiap kampung memiliki pula lahan pertanian kaum yang mereka sebut ubul. Pada kelompok peminggir di setiap kampung dipimpin oleh seorang batin (bandar). Selain itu di setiap kampung selalu terdapat sebuah masjid dan sebuah balai adat yang mereka sebut sesat.
Keluarga inti dari orang Lampung disebut segayo atau gayohsai (satu periuk) yang biasanya berdiam bersama-sama dalam sebuah keluarga batih patrilineal yang disebut senunow, menyanak, atau sangalamban (artinya serumah). Orang lampung menganut adat menetap setelah menikah yang metrilokal. Kerena itu lelaki yang memiliki beberapa istri, dan salah satu istrinya adalah bangsawan maka ia akan tinggal dirumah istri ini. Dalam kelompok masyarakat beradat Pepadun anak laki-laki paling tua diangkat sebagai pemimpin keluarga. Terutama bagi golongan Punyimbang (bangsawan).
Dalam masyarakat Lampung keluarga luasnya disebut sebagai sejurai atau menyanak warei yang anggotanya termasuk kerabat Karena hubungan darah (consanguinal) dan kerabat Karena hubungan perkawinan (affinal). Kelompok inti sebuah keluarga luas adalah yang disebut adik warei. Anggotanya biasanya adalah beberapa lelaki bersaudara satu ayah beserta keluarga. Masing-masing menempati rumah yang disebut nuwou balak di atas. Keluarga luas tersebut bisa pula menarik garis ikatan kekerabatan sampai lima keturunan ke atas. Ikatan ini berupa satu klen patrilineal yang mereka sebut buway asal.
Walaupun dalam masyarakat lampung tidak ada pelapisan sosial yang tajam misalnya seperti raja dengan budak, akan tetapi mereka memiliki sistem pelapisan sosial dalam kekerabatan tersendiri menurut ketentuan adat keturunan. Lapisan-lapisan sosial tersebut adalah: pertama, golongan tuha raja (tuhou rajou) yang terdiri atas pemimpin kepunyimbangan (bangsawan pemimpin klen), kelompok sebatin (pemuka adat klen), pemuka kebuwayan, pemuka marga, pemuka tiyuh, dan lain-lain. Golongan bangsawan ini disebut juga prowatin atau perwatin. Kedua, golongan bebai mirul, yaitu kelompok istri para punyimbang. Sedangkan kelompok yang bukan istri para punyimbang disebut mirul saja.
Ketiga adalah golongan adik warei, yaitu adik lelaki para punyimbang dari suatu klen atau buway. Keempat, adalah golongan apak kemanan, yaitu kelompok ayah dan paman dari garis patrilineal seorang punyimbang. Kelima adalah golongan yang disebut lebuw kelambaw, yaitu kelompok saudara lelaki ibunya ayah (lebuw) dan saudara lelaki ibu (kelambaw). Keenam adalah golongan mulei meghanai, yaitu kelompok warga bujang dan gadis yang merupakan kekuatan sendiri dalam kelompo kaum.
Pada masa sekarang orang Lampung menganut agama islam. Sebelumnya mereka juga pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Mereka sendiri sampai sekarang masih ada yang meyakini sistem religi lama yang mereka sebut Adat Zaman Tumi. Keyakinan animism ini percaya kepada peranan roh-roh orang meninggal dan roh-roh alam dalam memengaruhi kehidupan manusia. Makhluk halus itu ada yang disebut sailekom (yang gelap), saihalus (yang halus), sekedi (peri). Makhluk halus dan roh-roh tertentu dapat memasuki tubuh seseorang sehinggaorang itu kerasukan. Kadang mereka menebarkan pertentangan atau penyakit dalam masyarakat, kadang suka pula menolong orang. Mereka merasa perlu mengadakan upacara-upacara tertentu untuk menghadapi makhluk-makhluk halus itu. Karena itu orang Lampung mengenal pula upacara bersih desa, upacara kesuburan tanah, upacara menghormati dewi padi (dewi sri) dan sebagainya.
Dewa-dewa yang harus disembahdan dihormati, misalnya dewa pencipta alam semesta (sang hiang sakti), Dewi kecantikan (muli putri atau bidadari), dewa pencipta dan pemelihara padi (selang sri). Mereka juga mempercayai makhluk-makhluk halus dan benda-benda kuno dengan kekuatan saktinya. Sehubungan dengan kepercayaan ini, mereka mengenal berbagai upacara adat dengan berbagai sesajian sebagai pelengkapnya.
Baca juga;Suku Akit (Akik)
Orang Lampung dikenal sebagai pengrajin kain tenun tradisional (tapis) dengan motif hiasan yang indah. Bentuk-bentuk kesenian lainnya mempelihatkan pengaruh budaya Hindu dan Islam. Mereka mengembangkan pula kesenian setempat yang menarik, seperti alat music tradisional yang di sebut seghunai (seruling), serdam (seruling), sakhah (seruling tanduk kerbau), kerenceng (sejenis terbang kecil), berdah (terbang besar), tala khakhumung atau tala lunik atau tala balak (sejenis gamelan), losung patan (alat musik dari alau dan lesung), gindang, dan ketipung (sejenis gendang). Tari-tarian tradisional mereka antara lain: sambai, serujung, batik, ikhau, cangget pilangan, cangget meghanai, siding belawan, sahui, dan sebagainya. Sastra lisan mereka antara lain: bubandung, ngadio, warahan, dan pisahan. Pengaruh islam tampak pada seni zikir dan berbalas pantun (adi-adi lombang). Seni suara lainnya dikenal dengan nama muayak atau ngantau yang berasal dari daerah krui, pisaan, dan bebadung dari abung dan pubian.
Sumber. Depdikbud 1977/1978, 1980/1981, Asmanedi 1998.
Suku Lampung (Lampong) Sumatera
4/
5
Oleh
Unknown