Rabu, 22 Februari 2017

Suku Akit (Akik) di Sumatera

Perkembangan Kebudayaan Suku Akit (Akik) di Sumatera

Suku Akit (Akik) di Sumatera
Kehidupan Rakyat Suku Akit Sumatera
Jejak Nusantara - Suku bangsa ini disebut juga orang akik. Mungkin berasal dari kata “rakik” atau “rakit” , yaitu alat transportasi air, karena kehidupan merekalebih banyak berada di perairan laut dan muara-muara sungai. Pada zaman rumah mereka didirikan diatas rakit yang mudah di pindah-pindahkan dari satu tepian ke tepian lain. Pada masa sekarang mereka berdiam disekitar kepenghuluan Hutan panjang, Kecamatan Rumpat di pulau Rupat, Kabupaten bengkalis. Pada tahun 1984 populasi mereka berjumlah sekitar 3.500 jiwa, tersebar disekitar pulau rupat yang basah, banyak sungai, berawa-rawa dan berselat-selat.

     Menurut cerita orang tua-tua mereka, nenek moyang orang akit berasal dari semenanjung malaka (sekarang Malaysia). Awalnya mereka adalah anak suku bangsa kit yang menghuni daratan Asia belakang. Entah karena peperangan, bencana alam atau wabah penyakit, maka mereka telah mengembara keselatan ,”Sampai ketepi ombak yang berdebur, tempat kepiting merangkak dan penyu bertelur”. Keadaan telah memaksa mereka mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak diatas rakit dan sampan. Dengan mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adiptif diperairan kepulauan Riau.

    Orang Akit terutama hidup dari hasil berburu, menangkap ikan dan hasil sagu (Bhahasa Melayu; Rumbia-Metroxilon Sago) yang banyak tumbuh secara liar di Pulau Rupat, Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil dengan menggunakan sumpit mereka gunakan untuk menjatuhkan burung atau keluang, tombak untuk menusuk binatang besar dan sebagai alat beladiri. Teman setia mereka untuk perburuan macam itu adalah anjing. Setahun sekali mereka panen durian, selain itu mereka juga pandai membuat tuak dari air enau atau kelapa. Tidak heran kalau mereka biasa mabok durian atau mabok tuak.

    Bangun tubuh mereka tegap-tegap dan lebih tinggi daripada umumnya orang melayu yang berdiam di sekitar wilayah mereka. Kulit mereka berwarna kecoklatan dibakar cahaya matahari dan cuaca perairan, sehingga menmereka berwarna kecoklatan dibakar cahaya matahari dan cuaca perairan, sehingga menyembunyikan warna aslinya yang kekuning-kuningan. Dahi dan tulang pipinya tinggi macam ras mongoloid umumnya. Tetapi mata mereka sipit dan rambutnya cenderung ikal.

     Anak perempuan mereka dikawinkan setelah berumur 15 tahun dan anak laki-laki setelah 17 tahun. Mereka harus menjalani adat bersunat pada usia 7-13 tahun, dan ini bukan karena pengaruh budaya islam. Gadis yang baru kawin segera dibawa oleh suaminya kerumah mereka yang baru, atau menumpang sementara di rumah orang tua suami. Pihak lelaki menyerahkan “uang beli” sekarang sebesar 5 Ringgit (Dolar Malaysia) kepada orang tua si gadis disediakan pula mas kawin berupa cincin sepasang,kain baju,dan alat rumah tangga selengkapnya. Untuk pesta kawinnya mereka memotong Babi, minum tuak, kemudian menyanyi dan menari sampai pagi.

     Pada zaman kesultanan siak, suku bangsa ini sudah disegani juga, antara lain karena kemampuan merekauntuk bertahan hidup diperairan,pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya. Oleh sebab itu mereka diajak bekerja sama memerangi belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang akit untuk dijadikan budak,Gangguan orang akir pada zaman colonial itu dicatat belanda sebagai perompak laut yang sulit ditumpas habis. Di lingkungan kesultanan siak sendiri akhirnya memiliki seorang batin, yaitu pemimpin masyarakat akit yang diakui oleh sultan siak.

     Walaupun sempat berhubungan erat dengan kesultanan siak, orang akitsendiri amat sedikit terpengaruh oleh budaya Melayu. Kecuali tunduk kepada kesultanan siak yang sedang kuat pada masa itu dan memakai bahasa melayu ketika berhubungan dengan orang lain., mereka menyebut orangmelayu sebgai orang selam, maksudnya orang islam. Sistem kepercayaan asli mereka yang memuja nenek moyang akhirnya hanya bisa dipengaruhi oleh ajaran moral budha.

    Pada masa sekarang banyak sekali perempuan akit yang dikawini oleh laki-laki keturunan cina yang kehidupan ekonominya tidak jauh berbeda dengan masyarakat akit pada umumnya. Keturunan cina perantau ini nampaknya suka berbesanan dengan orang akit, terutama agar bisa berdiam diwilayah tersebut. Karena pulau rupat juga banyak ditumbuhi pokok durian,maka pulau ini juga ramai pada musim durian. Tidak heran jika salah satu makanan khas suku bangsa akit ini adalah lempok durian.Sedangkan makanan dari binatang buruannya yang paling disukai adalh pelanduk bakar atau gulai pelanduk.


Sumber.Hidayah 1987a.

Related Posts

Suku Akit (Akik) di Sumatera
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.