Sabtu, 25 Februari 2017

Suku Makian Maluku

Sejarah Kebudayaan Suku Makian di Maluku
potret lama suku makian
peta geografis pulau makian




Jejak Nusantara - Suku bangsa ini mendiami pulau Makian dan sebagian daratan pulau kayoa yang terletak di sebelah selatan pulau Halmahera. Daerah ini berada dalam wilayah kabupaten Maluku utara. Jumlah populasinya sekitar 20.000 jiwa. Mereka nampaknya terbagi kedalam 2 subsuku Bangsa, yaitu orang Makian barat yang memakai dialek jitine atau desite; dan orang makian timur yang menggunakan dialek tabayama. Kelompok jitine menyebut pulau makian dengan nama pulau moi. Sedangkan kelompo tabayama ini menyebut pulau makian dengan nama Taba.

Suku bangsa makian banyak pula yang merantau ke daerah-daerah lain. Bahkan ada pula yang pindah ke pulau Halmahera Karena ancaman letusan gunung kie besi yang diramalkan akan meletus antara tahun 1975-1983. Walaupun gunung itu tidak jadi meletus, sebagian penduduk bersedia pindah ke malifut, di kecamatan kao, pulau Halmahera, dan umumnya dihuni oleh transmigran dari makian timur.
rumah adat, kuliner, dan sejarah suku  makian
potret kehidupan masyarakat suku makian (foto lama)

Orang Makian umumnya hidup dari pertanian; ada yang bercocok tanam diladang secara menetap dengan tanaman pisang, jagung, ubi jalar dan ubi kayu, ada pula yang bercocok tanam di ladang berpindah dengan tanaman pokoknya padi. Sebagian yang lain menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Sejak zaman dulu pulau Makian sudah terkenal sebagai salah satu pulau penghasil cengkeh dan pala, selain tembakau yang laku di pasar tradisional maluku utara.

Keluarga orang inti makian jarang ditemukan berdiri sendiri, tapi selalu menggabungkan diri kedalam keluarga inti senior dari garis kekerabatan patrilokal. Keluarga-keluarga yang berasal dari keturunan dari kakek moyang yang sama membentuk klen patrilineal yang mereka sebut soa. Umumnya anggota-anggota suatu soa berdiam bersama-sama dalam sebuah kampong (Kampung), sehingga kampung itu sering pula disebut dengan nama soanya. Kampung -kampung itu sekarang ada yang sudah setingkat dengan desa. Kepala desanya disebut kepala kampong atau lailoyo. Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan tenaga massal digerakkan dengan sistem gotong royong yang disebut makayaklo.

daerah suku makian terdahulu
rumah adat suku makian (foto lama)

Dulu pulau Makian berada dibawah kekuasaan kesultanan ternate, dan terbagi kedalam empat negeri semacam bentuk kekuasaan atas suatu wilayah masing-masing dipimpin oleh seorang sangaji. Pada zaman kesultanan ternate masyarakat Makian dipimpin oleh seorang sangaji mayor. Dibawah sangaji terdapat beberapa lembaga kemasyarakatan, seperti bobatu ukhrani (lembaga urusan agama) dan bobatu dunya (lembaga urusan hukum dunia). Lalu, ada lagi sebuah dewan rakyat yang disebut gamraha, yang anggota-anggotanya adalah kepala-kepala soa dan wakil-wakil kepala soa dari setiap kampong.
gunung berapi aktif pulau makian
potret  gunung kie besi (foto lama)

Pada akhir abad yang lalu masyarakat Makian masih mengenal pelapisan social. Lapisan pertama adalah golongan ningrat yang disebut joudano. Lapisan kedua adalah golongan rakyat biasa yang disebut kaum bala. Di zaman yang lebih lama lagi dikenal juga golongan budak. Karena pelapisan sosial seperti itu maka soa-soanya ada juga yang tergolong juga ada yang tergolong ningrat dan tergolong biasa. Pada masa sekarang orang makian umumnya memeluk agama islam.



Sumber. Depdikbud 1990/1991; Mateosz 1989; Lucardi 1980.

Suku Lampung (Lampong) Sumatera


Sejarah kebudayaan  Suku Lampung (Lampong) 
potret kehidupan suku lampung
pakaian adat suku lampung (lampong)


Jejak Nusantara - Orang Lampung yang dimaksud disini adalah penduduk asli yang sudah mendiami daerah provinsi lampung jauh sebelum kaum transmigran dan bebagai pendatang dari suku bangsa lain ikut bermukim di provinsi ini. Jumlah mereka sekarang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kaum transmigran dan pendatang lain. Walaupun begitu pemukiman mereka cukup tersebar di semua wilayah.

Pada tahun 1974 jumlah penduduk provinsi lampung sekitar 3,1 juta jiwa, dan diperkirakan penduduk yang tergolong suku bangsa lampung hanya berjumlah sekitar 800 ribu jiwa. Sebagian siantara mereka juga berdiam diwilayah provinsi Bengkulu dan sumatera selatan bagian selatan. Sebaliknya ada pula beberapa suku bangsa yang berasal dari Bengkulu dan sumatera selatan yang berdiam diwilayah provinsi lampung, seperti orang semendo, ogan, dan pasma.mengingat jumlah transmigran yang berasal dari pulau jawa jauh lebih banyak maka pengaruh budaya jawa pada masa sekarang cukup besar dalam pergaulan antar suku bangsa di lampung.

Menurut suatu tradisi lisannya suku bangsa lampung dianggap berasal dari skala brak, yaitu suatu tempat wilayah kecaman belalau, kabupaten lampung utara. Nama “lampung” sendiri dikatakan berasal dari sebuah cerita rakyat yang berjudul “si lampung ratu bulan”. Dalam kronik-kronik cina pada abad ke 7, daerah Lampung lebih dikenal dengan nama to-lang-p’o-whang, yaitu sebuah kerajaan yang cukup disegani dari sumatera bagian selatan.

Peninggalan-peninggalan prasejarah banyak membuktikan bahwa di lampung pernah berkembang budaya yang dibawa oleh agama hindu dan budha. Bahkan diduga sebelumnya sudah ada juga budaya megalitik yang lebih tua dan asli Indonesia di daerah tersebut. Karena selain di temukan berbagai prasasti dari masa sriwijaya, arca-arca budha, berbagai keramik china dari dinasty Han (200-220 M), Tang (607-908 M),dan dinasty Ming (1368-1643 M), juga ditemukan tradisi megalitik yang berbeda dengan budaya materi hindu/budha. Dari situs-situs megalitik banyak yang ditemukan menhir, dolmen, punden berundak, dan batu tempat pemujaan.

Ajaran agama islam masuk ke daerah ini sekitar abad 15, ketika daerah ini dikuasai oleh kerajaan sunda kelapa. Kemudian berlanjut ketika masa kekuasaan kesultanan Banten. Penyebarannanya terutama berpusat di daerah pugung, yang kemudian berkembang menjadi daerah keratuan pugung.

Orang Lampung sendiri dalam kehidupan sosial budayanya setelah mengembangkan aturan-aturan adat yang akan menentukan peranan kelompok-kelompok adat mereka. Kelompok adat yang paling besar pengaruhnya dalam kehidupan social tradisional mereka adalah adat pepadun dan adat peminggir atau pubian. Yang lain juga perlu diperhitungkan dalam sudi kemasyarakatan orang Lampung adalah adat semende (semendo), adat Ranau, adat belalau, adat pegagan, dan adat ogan. Kelompok adat pepadun umumnya mendiami wilayah lampung bagian timur dan tengah, di cirikan oleh sistem adat kebangsawanan mereka yang cukup kompleks yang disebut kepunyimbangan. Kelompok adat peminggir umumnya mendiami wilayah bagian barat sampai ke pesisirnya, di cirikan oleh sistem adat yang sistem pelapisan sosialnya dua tingkat yang disebut sebatin atau seibatin.

perkembangan suku lampung
wanita suku lampung (foto tua)

Subsuku bangsa Lampung Pepadun terbagi lagi menjadi 4 kelompok, yaitu Abung Siwo, Megou (Abung Sembilan Marga), Megau Pak Tulangbawang, Buay Lima, dan Pubiyan Teluh Suku (Pubiyan Tiga Suku). Setiap kelompok masih terbagi lagi atas sejumlah klen besar yang berdiam diwilayah tertentu, yang disebut buay atau kebuwayan. Abung Siwa Megou terbagi atas Buay Unyai di Kecamatan Kotabumi, Buay Unyi di Kecamatan Gunung Sugi, Buay Nuban di Kecamatan Sukadana, Buay Subing, dan Buay Beliuk (keduanya di kecamatan Terbanggi Besar), Buay Kunang, dan Buay Selagi (keduanya di Kecamatan Gunung Barat), dan Buay Nyerupa di kecamatan Gunung Sugih.

Kelompok Megou pak Tulang bawang terbagi atas empat buay, yaitu Buay Bolan (di Kecamatan Menggala), Buay Umpu, Buay Tegamonan, dan Buay Ali, ketiganya di Kecamatan Tulang bawang Tengah. Kelompok Buay lima terdiri dari 5 Buay, yaitu Buay Pemuka di kecamatan Pakuaon Ratu, Buay Bahuga di kecamatan Bumi Agung, Buay Semenguk di Kecamatan Belambang Umpu, Buay Baradatu di Kecamatan Baradatu, Buay Barasakti di kecamatan Barasakti. Kelompok Pubiyan Telu Suku terdiri atas 3 Buay, yaitu Buay manyarakat di kecamatan Gedong Tataan, Pagelaran, Kedaton Tanjung Karang, Buay tamba Pupus di Kecamatan Pagelaran dan Gedong Tataan, Buay Buku Jadi di kecamatan Natar.

Orang Lampung Peminggir terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu Peminggir Melinting Rajabasa di daerah Labuhan Meringgai dan disekitar Rajabasa Kalianda; Peminggir Teluk di daerah Telukbetung; Peminggir Skala Brak di daerah Liwa, Kenali, Pesisir Tengah, Pesisir Utara, dan pesisir Selatan; Peminggirr Semangka di daerah Cukuh Balak, Talang Padang, Kota Agung, dan Wonosobo; Komering di daerah Ranau, Komering, dan Kayu Agung (Sumatera Selatan).

Menurut ahli etnolinguistik Belanda, van der tuuk, Bahasa Lampung terbagi kedalam dialek Abung yang dipakai oleh kelompok masyarakat beradat pepadundan dialek Pubiyan yang dipakai oleeh kelompok masyarakat beradat Peminggir. Van Royen malah membagi Bahasa Lampung menjadi dialek nya dan dialek api. Pada masa sekarang Bahasa lampung memang dapat dibagi-bagi menurut ciri dialeknya, antara lain: Dialek Sungkay dan Way Kanan, dialek Krui, dialek Belalau, dialek Pubian, dialek Komering, dialek Kayu Agung, dialek Abung, dialek Tulang Bawang dan dialek Pesisir (Peminggir).

Menurut para ahli Bahasa bangsa Indonesia Bahasa sendiri, Bahasa Lampung yang disebut behasou lampung atau umung lampung atau cewo lampung, masih dapat dibagi menjadi 2 dialek, yaitu dialek Lampung Belalau dan dialek lampung Abung; yaitu masing-masing dibedakan atas dasar pengucapan a dan o. Dialek Lampung Belalau (dialek a) masih terbagi kedalam beberapa subdialek, yaitu jelma doya (sungkai), Pemanggilan Peminggir, Melinting peminggir, dan Pubian. Dialek Lampung Abung (dialek o) terbagi atas 2 subdialek yaitu abung dan tulungbawang. Orang Lampung juga memiliki aksara sendiri, yang biasa disebut surat Lampung atau huruf lampung. Abjadnya berasal dari abjad Sansakerta dari huruf Dewa Nagari.

Bahasa Lampung tidak mempunyai tingkatan pemakaian Bahasa seperti Bahasa jawa, melainkan seperti Bahasa Belanda, yaitu cukup mengganti kata ganti orang waktu teman bicara berganti, seperrti kata ganti untuk orag tua, kata ganti untuk sesama usia dan kata ganti untuk usia yang lebih muda. Termasuk penggunaan penekanan suara atau nada dalam menentukan sikap pembicaraan. Bahasa Lampung masih bagian rumpun dari Bahasa Melayu. Hanya Karena dialeknya yang lain, menyebabkan lebih sukar dipahami oleh orang yang biasa berbahasa Indonesia. Bahasa Lampung juga memiliki Aksara kuno atau tulisan kuno dari orang Rejang, Serawai, dan lain-lain yang mungkin berkembang dari aksara Devanagari dari India.

Mata pencaharian suku bangsa Lampung pada awalnya adalah perladangan tebang bakar dan berpindah-pindah serta meramu hasil hutan. Berkat pengaruh masyarakat lain yang dating kemudian mereka mulai pula mengembangkan sistem pertanian irigasi disawah-sawah, beternak kerbau “Liar”, sapi, kambing, dan lain-lain. Pada abad ke-18 mereka mulai pula bertanam tanaman keras seperti kopi, cengkeh, serta rempah-rempah seperti lada dan pala. Pekerjaan berburu binatang liar serta mengumpulkan hasil hutan masih dilakukan oleh sebagian penduduknya. Untuk mengusahakan kebun-kebun lada,, kopi, cengkeh, danlainnya, mereka mengupah buruhh-buruh transmigran. Sebagian dari mereka sudah ada pula yang memilih pekerjaan sebagai pegawai pemerintah atau swasta di kota-kota.

Perkampungan orang Lampung biasanya didirikan di dekat sungai dan berjajar di sepanjang jalan utama yang membelah kampung. Orang Lampung menyebut kampung mereka sebagai tiyuh, anek, atau pekon. Sebelum tahun lima puluhan kampung-kampung itu tergabung ke dalamsebuah marga. Pada zaman dulu beberapa buah marga bergabung menjadi satu onderdistrik yang sekarang disebut kecamatan. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat kediaman buay atau buway (klen patrilineal). Setiap bilik mempunyai sebuah rumah klen yang besar yang disebut nuwou balak atau nuwou menyanak (rumah kerabat) atau lamban gedung. Rumah ini menjadi pusat orientasi setiap ikatan kekerabatan baik hubungan langsung maupun Karena mewari (pengangkatan saudara), Karena selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga (primogenitur).

rumah adat, tarian, dan kebudayaan suku lampung
tarian adat suku lampung (lampong)
Budaya Lampung mengenal sistem klen patrilineal yang berwujud klen kecil (suku) dan klen besar (kebuayan atau buay-asal). Pengelompokan buay didasarkan pada ikatan pertalian darah atau pertalian adat (mewari), dann para anggotanya biasanya memiliki rasa keterikatan dengan rumah asalnya (nuwou tuhou atau nuwou balak tuhou). Pada masyarakat Lampung Pepadun Kesatuan suku merupakan gabungan sebuah keluarga inti atau keluarga luas (cangki), yang masih mengenal dan menyadari asalnya dari satu keturunan nenek moyang. Anggota klen kecil ini dipimpin oleh penyimbang suku. Gabungan beberapa klen kecil merupakan kelompok kerabat klen besar (kebuayan) yang anggotanya sudah menjadi sangat banyak sehingga tak mungkin saling mengenal secara keseluruhan. Pada masyarakat Lampung Saibatin pengelompokan masyarakat dalam satu kampung (pekon) membentuk sebuah klen kecil yang disebut sebatin. Kelompok sebatin ini terbentuk atas dasar keturunan atau perkawinan. Dengan demikian, dalam setiap pekon biasanya paling tidak terdapat satu kelompok sebatin.

Rumah-rumah keluarga Batih biasanya didirikan di sekitar nuwou balak. Dalam kelompok beradat Pepadun setiap bilik atau kelompok menyanak dipimpin oleh seorang penyimbang suku,setiap tiyuh (kampung) dipimpin oleh seorang punyimbang bumi­. Setiap marga dipimpin oleh seorang punyimbang marga. Setiap kepemimpinan itu membentuk juga dewan-dewannya sendiri. Setiap kampung memiliki pula lahan pertanian kaum yang mereka sebut ubul. Pada kelompok peminggir di setiap kampung dipimpin oleh seorang batin (bandar). Selain itu di setiap kampung selalu terdapat sebuah masjid dan sebuah balai adat yang mereka sebut sesat.

Keluarga inti dari orang Lampung disebut segayo atau gayohsai (satu periuk) yang biasanya berdiam bersama-sama dalam sebuah keluarga batih patrilineal yang disebut senunow, menyanak, atau sangalamban (artinya serumah). Orang lampung menganut adat menetap setelah menikah yang metrilokal. Kerena itu lelaki yang memiliki beberapa istri, dan salah satu istrinya adalah bangsawan maka ia akan tinggal dirumah istri ini. Dalam kelompok masyarakat beradat Pepadun anak laki-laki paling tua diangkat sebagai pemimpin keluarga. Terutama bagi golongan Punyimbang (bangsawan).

Dalam masyarakat Lampung keluarga luasnya disebut sebagai sejurai atau menyanak warei yang anggotanya termasuk kerabat Karena hubungan darah (consanguinal) dan kerabat Karena hubungan perkawinan (affinal). Kelompok inti sebuah keluarga luas adalah yang disebut adik warei. Anggotanya biasanya adalah beberapa lelaki bersaudara satu ayah beserta keluarga. Masing-masing menempati rumah yang disebut nuwou balak di atas. Keluarga luas tersebut bisa pula menarik garis ikatan kekerabatan sampai lima keturunan ke atas. Ikatan ini berupa satu klen patrilineal yang mereka sebut buway asal.

Walaupun dalam masyarakat lampung tidak ada pelapisan sosial yang tajam misalnya seperti raja dengan budak, akan tetapi mereka memiliki sistem pelapisan sosial dalam kekerabatan tersendiri menurut ketentuan adat keturunan. Lapisan-lapisan sosial tersebut adalah: pertama, golongan tuha raja (tuhou rajou) yang terdiri atas pemimpin kepunyimbangan (bangsawan pemimpin klen), kelompok sebatin (pemuka adat klen), pemuka kebuwayan, pemuka marga, pemuka tiyuh, dan lain-lain. Golongan bangsawan ini disebut juga prowatin atau perwatin. Kedua, golongan bebai mirul, yaitu kelompok istri para punyimbang. Sedangkan kelompok yang bukan istri para punyimbang disebut mirul saja.

Ketiga adalah golongan adik warei, yaitu adik lelaki para punyimbang dari suatu klen atau buway. Keempat, adalah golongan apak kemanan, yaitu kelompok ayah dan paman dari garis patrilineal seorang punyimbang. Kelima adalah golongan yang disebut lebuw kelambaw, yaitu kelompok saudara lelaki ibunya ayah (lebuw) dan saudara lelaki ibu (kelambaw). Keenam adalah golongan mulei meghanai, yaitu kelompok warga bujang dan gadis yang merupakan kekuatan sendiri dalam kelompo kaum.

Pada masa sekarang orang Lampung menganut agama islam. Sebelumnya mereka juga pernah dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Mereka sendiri sampai sekarang masih ada yang meyakini sistem religi lama yang mereka sebut Adat Zaman Tumi. Keyakinan animism ini percaya kepada peranan roh-roh orang meninggal dan roh-roh alam dalam memengaruhi kehidupan manusia. Makhluk halus itu ada yang disebut sailekom (yang gelap), saihalus (yang halus), sekedi (peri). Makhluk halus dan roh-roh tertentu dapat memasuki tubuh seseorang sehinggaorang itu kerasukan. Kadang mereka menebarkan pertentangan atau penyakit dalam masyarakat, kadang suka pula menolong orang. Mereka merasa perlu mengadakan upacara-upacara tertentu untuk menghadapi makhluk-makhluk halus itu. Karena itu orang Lampung mengenal pula upacara bersih desa, upacara kesuburan tanah, upacara menghormati dewi padi (dewi sri) dan sebagainya.

Dewa-dewa yang harus disembahdan dihormati, misalnya dewa pencipta alam semesta (sang hiang sakti), Dewi kecantikan (muli putri atau bidadari), dewa pencipta dan pemelihara padi (selang sri). Mereka juga mempercayai makhluk-makhluk halus dan benda-benda kuno dengan kekuatan saktinya. Sehubungan dengan kepercayaan ini, mereka mengenal berbagai upacara adat dengan berbagai sesajian sebagai pelengkapnya.


Baca juga;Suku Akit (Akik)


Orang Lampung dikenal sebagai pengrajin kain tenun tradisional (tapis) dengan motif hiasan yang indah. Bentuk-bentuk kesenian lainnya mempelihatkan pengaruh budaya Hindu dan Islam. Mereka mengembangkan pula kesenian setempat yang menarik, seperti alat music tradisional yang di sebut seghunai (seruling), serdam (seruling), sakhah (seruling tanduk kerbau), kerenceng (sejenis terbang kecil), berdah (terbang besar), tala khakhumung atau tala lunik atau tala balak (sejenis gamelan), losung patan (alat musik dari alau dan lesung), gindang, dan ketipung (sejenis gendang). Tari-tarian tradisional mereka antara lain: sambai, serujung, batik, ikhau, cangget pilangan, cangget meghanai, siding belawan, sahui, dan sebagainya. Sastra lisan mereka antara lain: bubandung, ngadio, warahan, dan pisahan. Pengaruh islam tampak pada seni zikir dan berbalas pantun (adi-adi lombang). Seni suara lainnya dikenal dengan nama muayak atau ngantau yang berasal dari daerah krui, pisaan, dan bebadung dari abung dan pubian.



Sumber. Depdikbud 1977/1978, 1980/1981, Asmanedi 1998.

Jumat, 24 Februari 2017

Suku Iban (Neban, Havan, Dayak Laut) di pesisir kalimantan

Sejarah kebudayaan suku Iban (Neban, Hivan, Dayak laut)
tarian, kuliner, dan berbagai fakta suku iban
penampilan tarian dari pemuda suku iban atau dayak laut

Jejak nusantara - Orang Iban dikenal juga dengan sebutan orang Neban, Hivan atau Dayak Laut. Mereka berdiam di sekitar kota Sanggau, Sintang dan Kapuas Hulu. Di kabupaten Kapuas hulu mereka berdiam di kecamatan Embahalor Hilir, Embahalor Hulu, Batang Lupar, Badau, Empanang, Nanga kantuk, Lanjak dan Putausibau. Di kabupaten sintang mereka berdiam dalam kecamatan ketau hulu, ketungau tengah dan sepauk. Dalam wilayah kabupaten sanggau mereka berdiam di kabupaten sekayam. Suku bangsa Iban terbagi lagi kepada sejumlah subsuku bangsa seperti orang balau, skrang, saribas, undup, kumpang, sebuyau, seru, empran, katibas, dan gaat.

Sebenarnya masyarakat ini terbagi lagi menjadi sejumlah subsuku bangsa yang masing-masing mempunyai nama dan dialek sendiri. Sebagian diantara mereka berdiam serawak, bagian wilayah negara Malaysia. Orang iban termasuk orang besar suku Dayak yang mendiami sebagian besar hulu sungai Kapuas dengan anak-anaknya sungai embaloh dan sungai lauh, di sekitar danau Kapuas, daerah nanga badau, selimbau, bunut, putusibau, hingga ke perbatasan dan masuk ke wilayah serawak, Malaysia.

Menurut sebagian ahli daerah utama pemukiman orang Iban adalah disekitar sungai batang Lupar yang berada di wilayah serawak dan di sekitar hulu sungai Kapuas bagian utara, pemukiman mereka di wilayah Indonesia termasuk kedalam kecamatan Embaloh hulu, Embaloh hilir dan Lanjak di kabupaten Kapuas hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Sebagian lagi berdiam di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.

Mata pencarian pokok masyarakat ini adalah bercocok tanam di ladang. Tanaman mereka adalah padi, ubi-ubian, sayur, dan buah-buahan. Sebagian mereka bekerja meramu hasil hutan, seperti rotan dan damar, atau menebang kayu gelondong untuk dijual. Diantara mereka sekarang banyak pula yang memperoleh pendidikan tinggi, sehingga bisa bekerja di kantor-kantor pemerintah dan swasta di kota-kota.

Pemukiman tradisional masyarakat Iban didirikan sepanjang sungai besar. Rumah-rumah mereka yang berukuran besar dan panjang, ditopang oleh tiang-tiang kayu tinggi untuk menghindari banjir dan air pasang. Terbentuk dari deretan ruang-ruang keluarga batih. Ruang yang disebut bilek ini jumlahnya kadangkala lebih dari 50 buah, sehungga panjang rumah bisa sampai 150 meter.rumah panjang semacam itu bisa dianggap sebagai sebuah kampung. Rumah panjang itu di huni oleh sejumlah keluarga sehingga membentuk komuniti rumah tradisional yang khas. Prinsip kekerabatan mereka ambilineal, akan tetapi suami biasanya tinggal dalam kelompok keluarga istrinya.

pakaian suku iban
penampilan pria suku iban kalimantan

Prinsip hubungan kekerabatan orang Iban bersifat ambilineal, di mana sebagian orang menarik garis keturunan dari pihak ayah dan sebagian yang lainnya dari ibu. Adat menetap sesudah nikahnya adalah utrolokal, damana ada yang memilih tinggal di bilek suaminya dan ada yang menetap di bilek istrinya. Pilihan tempat tinggal semacam itu berarti juga menjadi anggota bilek tersebut dengan segala hak dan kewajibannya. Seseorang tidak pernah menjadi anggota dari dua bilek. Anak-anak menjadi anggota bilek dimana dia dilahirkan.

Orang Iban mengembangkan berbagai bentuk macam seni tradisi lisan. Misalnya, pantun sindiran yang diungkapkan ketika sedang meminang. Nyanyian pujian kepada dewa atau permohonan berkat (ensemak) ketika membuka ladang atau pada waktu menanam. Mantra yang diungkapkan dengan lagu oleh dukun untuk mengobati orang yang sedang sakit (mantra balian). Seni berpantun untuk bersenang-senang (didi) dalam pergaulan muda mudi. Selain itu mereka masih mewariskan tradisi lisan yang berbentuk cerita-cerita ralyat. Cerita-cerita disampaikan pada waktu upacara kelahiran, perkawinan, atau kematian. Pakaian dan seni hias tradisional orang Iban juga terkenal indah-indah, seperti ikat atau tutup kepala, kalung, gelang, ikat pinggang, baju, kain, yang tersulam dengan manik-manik dan motif-motif penuh tata warna.

Pada masa sekarang orang Iban sudah banyak yang memeluk agama Kristen. Kepercayaan aslinya adalah meyakini adanya roh-roh dan makhluk gaib penghuni alam semesta yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Upacara-upacara yang mereka lakukan berdasarkan kepada kepercayaan tersebut. Perwujudan kepercayaan asli juga terlihat pada penyerahan saji-sajian pada tempat-tempat keramat dan benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan sakti, misalnya kayu besar, batu besar, hutan lebat.



Sumber .Uchibori 1978; King 1985; Riwut 1956,1962; Rousseau 1990; kamal 1982; Lontaan 1975; Freeman 1958.

Rabu, 22 Februari 2017

Suku Akit (Akik) di Sumatera

Perkembangan Kebudayaan Suku Akit (Akik) di Sumatera

Suku Akit (Akik) di Sumatera
Kehidupan Rakyat Suku Akit Sumatera
Jejak Nusantara - Suku bangsa ini disebut juga orang akik. Mungkin berasal dari kata “rakik” atau “rakit” , yaitu alat transportasi air, karena kehidupan merekalebih banyak berada di perairan laut dan muara-muara sungai. Pada zaman rumah mereka didirikan diatas rakit yang mudah di pindah-pindahkan dari satu tepian ke tepian lain. Pada masa sekarang mereka berdiam disekitar kepenghuluan Hutan panjang, Kecamatan Rumpat di pulau Rupat, Kabupaten bengkalis. Pada tahun 1984 populasi mereka berjumlah sekitar 3.500 jiwa, tersebar disekitar pulau rupat yang basah, banyak sungai, berawa-rawa dan berselat-selat.

     Menurut cerita orang tua-tua mereka, nenek moyang orang akit berasal dari semenanjung malaka (sekarang Malaysia). Awalnya mereka adalah anak suku bangsa kit yang menghuni daratan Asia belakang. Entah karena peperangan, bencana alam atau wabah penyakit, maka mereka telah mengembara keselatan ,”Sampai ketepi ombak yang berdebur, tempat kepiting merangkak dan penyu bertelur”. Keadaan telah memaksa mereka mengenal gelombang dan asinnya air laut, tetapi juga kebebasan bergerak diatas rakit dan sampan. Dengan mereka telah mulai mengembangkan kehidupan adiptif diperairan kepulauan Riau.

    Orang Akit terutama hidup dari hasil berburu, menangkap ikan dan hasil sagu (Bhahasa Melayu; Rumbia-Metroxilon Sago) yang banyak tumbuh secara liar di Pulau Rupat, Mereka berburu babi hutan, kijang atau kancil dengan menggunakan sumpit mereka gunakan untuk menjatuhkan burung atau keluang, tombak untuk menusuk binatang besar dan sebagai alat beladiri. Teman setia mereka untuk perburuan macam itu adalah anjing. Setahun sekali mereka panen durian, selain itu mereka juga pandai membuat tuak dari air enau atau kelapa. Tidak heran kalau mereka biasa mabok durian atau mabok tuak.

    Bangun tubuh mereka tegap-tegap dan lebih tinggi daripada umumnya orang melayu yang berdiam di sekitar wilayah mereka. Kulit mereka berwarna kecoklatan dibakar cahaya matahari dan cuaca perairan, sehingga menmereka berwarna kecoklatan dibakar cahaya matahari dan cuaca perairan, sehingga menyembunyikan warna aslinya yang kekuning-kuningan. Dahi dan tulang pipinya tinggi macam ras mongoloid umumnya. Tetapi mata mereka sipit dan rambutnya cenderung ikal.

     Anak perempuan mereka dikawinkan setelah berumur 15 tahun dan anak laki-laki setelah 17 tahun. Mereka harus menjalani adat bersunat pada usia 7-13 tahun, dan ini bukan karena pengaruh budaya islam. Gadis yang baru kawin segera dibawa oleh suaminya kerumah mereka yang baru, atau menumpang sementara di rumah orang tua suami. Pihak lelaki menyerahkan “uang beli” sekarang sebesar 5 Ringgit (Dolar Malaysia) kepada orang tua si gadis disediakan pula mas kawin berupa cincin sepasang,kain baju,dan alat rumah tangga selengkapnya. Untuk pesta kawinnya mereka memotong Babi, minum tuak, kemudian menyanyi dan menari sampai pagi.

     Pada zaman kesultanan siak, suku bangsa ini sudah disegani juga, antara lain karena kemampuan merekauntuk bertahan hidup diperairan,pemberani dan berbahaya sekali dengan senjata sumpit beracunnya. Oleh sebab itu mereka diajak bekerja sama memerangi belanda yang pada zaman itu sering menangkapi orang akit untuk dijadikan budak,Gangguan orang akir pada zaman colonial itu dicatat belanda sebagai perompak laut yang sulit ditumpas habis. Di lingkungan kesultanan siak sendiri akhirnya memiliki seorang batin, yaitu pemimpin masyarakat akit yang diakui oleh sultan siak.

     Walaupun sempat berhubungan erat dengan kesultanan siak, orang akitsendiri amat sedikit terpengaruh oleh budaya Melayu. Kecuali tunduk kepada kesultanan siak yang sedang kuat pada masa itu dan memakai bahasa melayu ketika berhubungan dengan orang lain., mereka menyebut orangmelayu sebgai orang selam, maksudnya orang islam. Sistem kepercayaan asli mereka yang memuja nenek moyang akhirnya hanya bisa dipengaruhi oleh ajaran moral budha.

    Pada masa sekarang banyak sekali perempuan akit yang dikawini oleh laki-laki keturunan cina yang kehidupan ekonominya tidak jauh berbeda dengan masyarakat akit pada umumnya. Keturunan cina perantau ini nampaknya suka berbesanan dengan orang akit, terutama agar bisa berdiam diwilayah tersebut. Karena pulau rupat juga banyak ditumbuhi pokok durian,maka pulau ini juga ramai pada musim durian. Tidak heran jika salah satu makanan khas suku bangsa akit ini adalah lempok durian.Sedangkan makanan dari binatang buruannya yang paling disukai adalh pelanduk bakar atau gulai pelanduk.


Sumber.Hidayah 1987a.

Suku Dani Papua

Sejarah Kebudayaan Suku Dani (ndani) di Papua
kebudayaan suku Dani papua
Potret masyarakat suku Dani penghuni dataran tinggi Papua Barat



Jejak Nusantara - Orang Dani atau Ndani hidup di pedalaman Papua, yaitu didataran tinggi pegunungan jayawijaya bagian tengah. Ibukotanya kota wamena yang cukup ramai dengan para pendatang dari daerah lain di Indonesia. Pemukiman mereka umumnya berada di sekitar hulu sungai-sungai besar seperti Memberamo yang bermuara ke pantai utama Papua.

   Danau-danau yang terdapat di pegunungan tengah ini menjadi sumber air bagi dua cabang sungai Memberamo, yaitu sungai idenburg yang mempunyai anak cabang yang bernama hablifoeri. Di hulu sungai ini terdapat desa-desa Dani seperti bokondini dan kelila yang dihuni oleh sekitar 15.000 jiwa. Cabang membramo yang kedua adalah sungai rauffaer dengan anak cabangnya sungai toli.

   Desa-desanya seperti karubaga, mamit, kanggime, dan lain-lain di huni sekitar 40.000 jiwa. Anak cabang Rauffer yang kedua adalah sungai ilaga, di sekitarnya hidup 40.000 jiwa. Anak cabangnya yang ketiga adalah sungai yamo atau sungai nogolo. Desa-desanya antara lain Ilu, Mulia dan sinak, di sini hidup sekitar 25.000 jiwa penduduk.

   Di lereng pegunungan jayawijaya bagian selatan terdapat lembah baliem yang terkenal. Dari sini sungai Baliem berasal yang bermuara kepantai selatan. Desa-desa yang penting disini adalah Kwiyawagwi, Tiom, Pit ,Makki, dan Pyramid, dimana penduduk yang hidup sekitar 50.000 jiwa. Kediaman orang Dani ini dapat ditemukan pada ketinggian 800-3000 meter dari permukaan laut. Desa yang tertinggi dari permukaan laut adalah kwiyawagwi. Secara adminstratif daerah tempat tinggal masyarakat Dani ini termasuk wilayah kabupaten jayawijaya, dengan ibukotanya wamena.

   Asal-usul orang Dani masih kabur, walaupun ada yang berasumsi bahwa masyarakat ini merupakan bukti gelombang awal pemindahan manusia dari daratan asia pada ribuan tahun yang lalu. Walaupun mereka diperkirakan mulanya dating sebagai masyarakat preagriculture, namun sekarang mereka telah menerapkan sistem bercocok tanam di ladang dengan tanaman utama ubi jalar.

   Bahasa Dani tergolong Non-Austronesia atau Papuan, mungkin lebih dekat kepada rumpun Bahasa Melanesia dan Pasifik barat pada umumnya. Keluarga besar Bahasa Dani termasuk kelompok Bahasa pegunungan bagian barat. Bahasa Dani juga terbagi menjadi dua dialek, yaitu dialek Dani barat atau yang lebih dikenal sebagai Bahasa laany atau lani, dengan penutur sekitar 134.000 jiwa. Yang kedua adalah dialek Dani lembah besar atau Dani Baliem, dengan penutur sekitar 50.000 jiwa.

   Peralatan hidup orang Dani sampai sekarang umumnya masih terbuat dari kayu, batu, serat tumbuh-tumbuhan, bamboo, tulang-tulang, dan taring hewan. Untuk alat pemotong mereka masih mengandalkan kapak batu yang sebagian juga yang mereka gunakan sebagai alat tukar untuk memperoleh barang-barang dari suku-suku bangsa dari dataran rendah. Untuk alat keperluan keladangannya mereka hanya menggunakan semacam sekop dari kayu. Gunanya untuk menyiduk lumpur ketika membentuk saluran air ketika supaya ladangnya tetap kering. Untuk menanam benih ubi mereka gunakan tongkat kayu pelobang.

   Untuk kemudahan memasak dengan batu panas mereka menggunakan jepitan kayu. Barang-barang kecil mereka di bawa dengan keranjang yang dianyam seperti jala (Noken). Kalau bepergian mereka selalu membawa perlengkapan pembuat api. Senjata utama mereka adalah busur dan anak panah serta tombak dari kayu. Selain untuk berperang senjata ini digunakan untuk berburu babi hutan, burung, kuskus, dan lain-lain.

   Pakaian asli orang Dani sangat minim. Laki-laki cukup menutup penisnya dengan kulit labu air yang sudah kering, wanitanya hanya memakai rok dari untaian serat rumput. Koteka, yaitu labu penutup penis orang Dani, ada beberapa macam. Waktu bekerja mereka pakai yang pendek, dan dalam kesempatan yang resmi mereka pakai koteka yang panjang. Untuk hiasan ada koteka yang dibentuk melingkar-lingkar, dan diukir dengan motif tertentu.

   Rumah orang Dani ada dua macam, yang pertama adalah rumah untuk laki-laki dewasa dan anak laki-laki remaja. Yang kedua adalah rumah keluarga, khususnya untuk kepentingan kaum wanita, ibu, gadis, dan anak kecil. Bentuk dan ukuran kedua macam rumah ini tidak jauh berbeda. Konstruksinya melingkar dalam diameter sekitar 4-5 meter, ditutup dengan atap kerucut dari rumput-rumput kering. Dinding rumah terbuat dari lembaran kayu atau kulit kayu.semua sambungan diikat dengan tali atau rotan. Lantai tanah dalam rumah digali beberapa incilalu ditutupi rumput kering tebal-tebal. Tungku api terletak di tengah-tengah lantai. Rumah untuk kaum laki-laki biasanya sedikit lebih besar daripada rumah keluarga.

   Disekeliling rumah dibuat pagar dari kayu supaya babi peliharaan tidak lari keluar. Kandang babi itu mereka buat seperti pondok dengan atap dari rumput kering. Babi peliharaan jarang dipotong kecuali jika ada pesta. Tetapi protein hewani bisa juga mereka penuhi agak sering dari hasil berburu babi hutan dan berbagai jenis binatang menyusui lainnya.

        

    Alat musik satu-satunya yang dikembangkan orang Dani adalah genggong yang terbuat dari bambu. Itupun hanya dimainkan sendiri-sendiri oleh seorang laki-laki dewasa dan remaja.

   Sistem pertanian orang Dani tergolong sebagai perladangan berpindah. Mereka menebangi pohon-pohon dari bagian hutan yang dipilih sebagai lokasi ladang, kemudian dibakar sampai menjadi abu. Sesudah dianggap dingin maka kaum wanitannya mulai membuat lobang ditanah dengan tongkat kayu dan menanam ubi jalar manisnya. Ladang seperti ini dalam beberapa tahun akan hilang kesuburannya, sehingga mereka terpaksa membuka ladang baru, yang lama ditinggalkan untuk kembali menjadi hutan. Diperkirakan ada sekitar 43 macam jenis ubi jalar yang ditanam oleh seorang Dani. Selain itu mereka juga menanam keladi, ketimun, labu-labuan, tebu, berbagai kacang-kacangan, pisang, jagung, dan tembakau. Sekarang sudah diperkenalkan juga cara menanam padi. Di wamena sawah mereka sudah panen sejak beberapa tahun yang lalu.

    Orang Dani memperoleh garam dari berbagai sumber air garam di pegunungan. Garam itu mereka buat dengan cara yang amat sederhana.

   Setiap komunitas kampung Dani terbagi ke dalam dua paruh masyarakat (moiety), yang pertama disebut wida (wyda, wodo, wonda) yang kedua disebut waiya (waya, weya). Perkawinan biasanya terjadi antar paruh masyarakat tersebut. Masing-masing paruh terdiri atas beberapa klen patrilineal (anibenu). Karena itu sistem perkawinan mereka bersifat eksogami patrilokal dan lebih diutamakan eksogami klen dan antar paruh masyarakat. Walaupun orang Dani suka membentuk keluarga inti dengan rumah tangga sendiri, akan tetapi suami dan anak laki-lakinya yang sudah remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bujang. Pemuda lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan sosialnya dengan saudara laki-laki ayahnya. Setiap klen biasanya tinggal berkelompok dalam lingkungan sebuah pedukuhan (bagian dari kampung), yang ditandai oleh sebuah rumah bujang dan beberapa rumah keluarga.

   Kehidupan politis komuniti Dani biasanya dipengaruhi oleh dua anibenu (klen) yang dominan dari setiap paruh masyarakatnya. Mereka akan mengadakan semacam konfederasi antar paruh dan kampung, terutama menghadapi ancaman peperangan dengan kelompok-kelompok konfederasi lain.

   Kepemimpinan kelompok Dani barat misalnya terbagi atas tiga tingkatan. Pertama adalah pemimpin pedukuhan yang disebut nagawan, biasanya juga pemimpin anibenu. Kedua, adalah pemimpin sub-konfederasi yang disebut ap nggowok (orang besar). Yang ketiga adalah pemimpin konfederasi yang disebut ap ndage mbogot (orang yang digelari langit).

Baca juga : Suku Akik di Sumatera

   Walaupun dimasa sekarang Ndani telah memeluk agama katolik atau protestan, sebagian dari mereka masih memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme. Dalam religi lamanya, orang Dani mempercayai banyak sekali makhluk halus, baik yang berdiam dilangit, maupun di bumi dan di bawa tanah.

Sumber. Heider 1970,1979; Hayward 1980.